Pelanggaran Etika Bisnis
Beranda
Nasional Ekonomi
Nasional Ekonomi
Pelanggaran Etika Bisnis Oleh Grup Lippo
Penulis Djony Edward - 14 Agustus 201702519
Mochtar
Riady, pendiri sekaligus owner Grup Lippo, yang berhasil mengembangkan kerajaan
bisnisnya meski banyak catatan pelanggaran etika bisnis dalam perjalanannya
Nusantara.news,
Jakarta – Ada banyak cara konglomerat untuk melakukan ekspansi bisnis, tapi ada
kalanya ekspansi bisnis itu dilakukan secara tidak etis dan cenderung melanggar
good corporate governance (GCG). Salah satunya dilakukan oleh Grup Lippo,
kelompok bisnis yang maju, namun punya catatan kurang baik soal etika bisnis.
Sejarah
Grup Lippo bermula ketika Mochtar Riady (Lie Mo Tie) membeli sebagian saham di
Bank Perniagaan Indonesia (BPI) milik pengusaha Hasyim Ning pada1981. Saat
dibeli, aset BPI merosot menjadi hanya Rp16,3 miliar.
Mochtar
sendiri saat itu tengah menduduki posisi penting di Bank Central Asia (BCA),
bank yang didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan BCA pada
1975 setelah meninggalkan Bank Panin.
Di
BCA, Mochtar menguasai saham sebesar 17,5% dan menjadi orang kepercayaan Om
Liem. Aset BCA ketika Mochtar bergabung hanya Rp12,8 miliar, lebih kecil dari
aset BPI. Pada akhir 1990 Mochtar keluar dari BCA, ketika itu aset bank tersebut
sudah di atas Rp5 triliun.
Bergabung
dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung,
aset BPI melonjak naik lebih dari 1.500% menjadi Rp257,73 miliar. Hal ini
membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun dijuluki sebagai The Magic
Man of Bank Marketing.
Dua
tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan
semenjak saat itu lahirlah Lippo Bank. Inilah cikal bakal Grup Lippo.
Terjebak Skandal
Di
masa tenang, Mochtar dan keluarga asik ma’syuk mengurus Lippo Bank dengan baik.
Prestasi demi prestasi diraihnya sehingga aset bank pun terus meningkat.
Namun
ketika memasuki masa krisis, banyak keanehan terjadi, terutama terkait rekayasa
keuangan yang tidak wajar.
Pertama,
Lippo Bank terperangkap skandal laporan keuangan ganda. Kasus ini berawal dari
laporan keuangan Triwulan III/2002 yang diterbitkan pada 30 September 2002.
Terjadi perbedaan informasi atas laporan keuangan yang disampaikan ke publik
melalui iklan di sebuah surat kabar nasional pada 28 November 2002, dengan
laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Dalam
laporan tersebut dimuat adanya pernyataan manajemen Lippo Bank bahwa laporan
itu disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP
Prasetio, Sarwoko, Sandjaja dengan oendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Penyajian
laporan tersebut dibuat dalam bentuk komparasi buku per 30 September 2002
(audited) dan per 30 september 2001 (un-audited). Dicantumkan, nilai Agunan
Yang Diambil Alih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp2,39 triliun, total
aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp24,18 triliun, laba tahun berjalan per
30 September 2002 sebesar Rp98,77 miliar, dan rasio kecukupan modal minimum
yang tersedia (CAR) sebesar 24,77%.
Pada
tanggal yang sama laporan keuangan Lippo Bank per 30 September 2002, yang
disampaikan ke BEJ pada 27 Desember 2002, ternyata isinya berbeda. Laporan itu
mencantumkan bahwa laporan keuangan yang disampaikan adalah laporan keuangan
“audited” yang tidak disertai dengan laporan auditor independen yang berisi
opini akuntan publik.
Penyajian
laporan dicantumkan nilai AYDA per 30 September 2002 sebesar Rp1,42 triliun,
total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp22,8 triliun, Rugi bersih per 30
September 2002 sebesar Rp1,27 triliun, dan CAR sebesar 4,23%.
Dapat
dilihat, bahwa pada tanggal yang sama ditemukan perbedaan baik dalam jumlah
AYDA, total aktiva, CAR, bahkan kondisi untung rugi.
Dalam
kasus ini Lippo Bank dianggap melanggar UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal pasal
93 terkait mempengaruhi harga efek di BEJ. Hal ini tentu merugikan investor di
pasar modal karena adanya dasar informasi yang salah.
Kedua,
pelanggaran insider trading. Pada periode yang sama sejumlah broker diketahui
melakukan transaksi jual dalam jumlah sangat besar. Ironisnya, pada 14 Februari
broker yang sama berbalik melakukan transaksi beli dalam volume signifikan.
Praktik
semacam itu menguatkan dugaan memang terjadi manipulasi laporan keuangan serta
insider trading. Dengan tujuan, agar pemilik lama bisa masuk kembali dan
menguasai saham mayoritas bank itu.
Banyak
yang menduga skenario itu sengaja dibuat karena pihak manajemen ingin
menawarkan saham terbatas (rights issue). Lewat cara itu pemegang saham
mayoritas pasca rekapitalisasi, yaitu pemerintah, mau tidak mau harus
mengeluarkan banyak uang. Karena jika tidak dilakukan, kepemilikan sahamnya
terdilusi. Ringkas kata, pemilik lama menginginkan pemerintah merekapitalisasi
tahap kedua terhadap bank itu.
Ketiga,
James Riady, putra Mochtar Riady, terlibat aktif dalam skandal sumbangan pada
kampanye Presiden AS Bill Clinton dan Wapres Al Gore dan dinyatakan bersalah
oleh Pengadilan AS.
Hubungan
erat antara Grup Lippo dengan Partai Demokrat AS bermula dari tahun 1976 James
Riady, anak Mochtar Riady si bos Lippo, berangkat ke New York untuk bekerja di
Irving Trust Banking Company di tahun 1975. Tak lama, James Riady pindah ke
Little Rock, Arkansas (kota kelahiran Bill Clinton) di tahun 1976.
Di
Arkansas, James Riady bersama Jack Steven mendirikan Worthen Bank dengan modal
awal US$20 juta. Jack Steven, yang disebut-sebut sebagai godfather-nya Arkansas
ini adalah rekan dekat Mochtar Riady. Melalui Jack Steven inilah, James Riady
bisa berkenalan dengan Jimmy Carter dan Bill Clinton.
Pada
1984, James Riady ditunjuk Jack Steven menjadi Direktur Utama Worthen Bank.
James Riady pun lalu menunjuk Hillary Clinton sebagai pengacara Worthen Bank.
Disinilah hubungan James Riady dengan pasutri Clinton merapat
Pada
tahun 1990an, Bill Clinton menyatakan kepada James Riady kalau ia berencana
maju ke pemilu presiden AS. James Riady pun memberitakan kabar tersebut kepada
ayahnya, Mochtar Riady. Mochtar Riady pun langsung memerintahkan James Riady
partisipasi aktif dalam kampanye Bill Clinton. Tak cuma James Riady, seluruh
anggota dan jaringan yang dimiliki Grup Lippo pun dikerahkan untuk membantu
kampanye Bill Clinton
Bentuk
sokongan James Riady dan Ted Sioeng pada Bill Clinton–Al Gore adalah
pengumpulan dana kampanye. Fokus dari tim pengumpulan dana kampanye Clinton–Al
Gore yang ditangani James Riady dan Ted Sioeng adalah dari pengusaha Asia.
Jumlah dana yang dikumpulkan James Riady-Ted Sioeng untuk Clinton-Al Gore
mencapai US$7,5 juta.
Secara
pribadi dan perusahaan, keluarga Riady dan Lippo Group mendapat jaringan dan
keleluasaan berbisnis di AS. Indonesia pun mendapat keringanan bea impor ke AS
pada masa Bill Clinton. Karena para pengusaha Tionghoa di Indonesia ikut
menyetor dana ke Clinton, maka mereka melobi kemudahan perdagangan.
Tak
cuma Indonesia, RRC pun ikutan memperoleh kemudahan impor produk-produk RRC ke
AS semasa Clinton.
Saat
skandal sumbangan Lippo Grup untuk kampanye Clinton terbongkar, Partai Demokrat
terpaksa mengembalikan hampir US$500 ribu. Sementara itu, Mochtar dan James
Riady dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS atas pelanggaran UU Dana Kampanye
AS karena terbukti melanggar hukum terkait pemberian sumbangan dana kampanye
Bill Clinton. Keluarga Riady dihukum membayar denda US$8,6 juta atau Rp114,38
miliar atas pelanggaran tersebut.
Keberanian
langkah bisnis Grup Lippo patut diacungkan jempol karena dalam banyak hal
menelurkan pola bisnis dan terobosan bisnis baru. Namun sayangnya keberanian
itu tidak diikuti governance yang baik, sehingga GCG Grup Lippo sempat
diragukan.
Kini
Grup Lippo kembali menggebrak dengan pembangunan Meikarta senilai Rp278
triliun. Namun prosesnya tidak mengikuti peraturan yang berlaku, baik dalam
perizinan, pembangunan, maupun proses marketing.
Komentar
Posting Komentar